Sampah untuk Pembangkit Listrik

Belajar dari Taiwan; Sampah untuk Pembangkit Listrik


SAMPAH telah menjadi masalah utama di masyarakat modern. Tingkat produksi sampah meningkat cukup drastis, sementara tuntutan akan peningkatan kualitas kesehatan semakin bertambah.

Usaha-usaha untuk mengurangi produksi sampah terus dilakukan, namun demikian, menghilangkan sampah sama sekali merupakan sesuatu yang mustahil. Karena itu, pengelolaan sampah menjadi kunci penting dalam pembangunan berkelanjutan, apalagi dengan memanfaatkan sampah menjadi produk yang mempunyai nilai tambah dengan mengkonversinya ke dalam bentuk lain, seperti energi atau listrik.

Beberapa waktu lalu penulis berkesempatan mengikuti sebuah workshop di Taiwan dan kemudian mengunjungi salah satu pembangkit listrik berbahan bakar sampah di negara tersebut. Pembangkit listrik itu diberi nama dengan Bali Incinerator Plant.

Dari namanya, sangat mirip dengan Pulau Bali yang juga sangat terkenal di negara kita. Penulis pun sempat bertanya-tanya, jangan-jangan ada hubungannya dengan Bali-nya Indonesia. Namun ternyata tidak ada hubungannya sama sekali. Itu adalah nama sebuah tempat di bagian pantai barat Taiwan yang berjarak sekitar 50 km dari Ibu Kota Taipei.

Sekilas dari kejauhan bangunan ini tidak menampakkan sebagai tempat pengolahan sampah, tetapi lebih mirip sebagai perkantoran atau bahkan mungkin pusat perbelanjaan. Struktur pembangkit keseluruhan didesain dengan dinding luar yang terbuat dari konstruksi panel aluminium dan kaca. Ketinggian bangunan ini mencapai 60 meter dan cerobongnya menjulang setinggi 150 meter yang tampak seperti sebuah menara. Bangunan pembangkit ini didesain oleh IM Pei, seorang arsitek yang sangat terkenal di Amerika. Area tempat pengumpulan sampah diletakkan pada sisi timur pembangkit dengan ketinggian 13 meter. Truk-truk pengangkut sampah diatur untuk mendapatkan akses ke area tersebut.

Kapasitas

Pembangkit listrik ini mulai beroperasi tahun 2001, awalnya hanya sebuah insinerator sampah biasa, tetapi kemudian berubah menjadi pembangkit listrik dengan memanfaatkan panas dari pembakaran di insinerator untuk menghasilkan uap dan kemudian uap tersebut digunakan untuk menggerakan turbin.
Luas area pembangkit ini sekitar 3,5 hektare dengan luas bangunan mencapai 1,8 hektare dan mempunyai kapasitas penampungan sampah 1350 ton per hari. Jumlah tersebut adalah hasil pengumpulan sampah dari kota-kota di sekitar pembangkit.

Sistem yang digunakan adalah insinerator yang berjumlah tiga unit dengan sistem pencampuran mekanis yang bisa bekerja penuh selama 24 jam. Tiap unit didesain untuk dapat membakar 450 ton sampah per hari. Listrik dibangkitkan dengan memanfaatkan panas keluaran insinerator melalui tiga boiler yang memproduksi uap panas untuk kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin dan putaran yang dihasilkan dari turbin digunakan untuk memutar generator listrik.

Pembangkit ini dilengkapi dengan bunker yang dapat menampung 16.200 m3 sampah. Secara keseluruhan, ada 14 pintu penampungan sampah, 11 pintu untuk pembuangan sampah pada umumnya, dan 3 lainnya untuk pembuangan sampah dengan ukuran besar seperti furniture dan lain-lain. Setelah pembakaran, jumlah sampah dapat berkurang sangat drastis menjadi hanya dua puluh persen berat atau sepuluh persen volume.

Pada kondisi normal, pembangkit ini mampu membangkitkan listrik sebesar 35 MW atau lebih dari 800 ribu KWH per harinya. Dengan pengurangan untuk kebutuhan operasional pembangkit, maka pembangkit ini dapat menyalurkan listrik lebih dari 21 ribu KWH per bulan atau 260 ribu KWH per tahun. Listrik sebanyak itu bisa memberikan pelayanan kepada 160 ribu pelanggan atau sekitar 40 ribu rumah.

Tempat Wisata

Untuk menangani polusi yang dihasilkan dari proses pembakaran di insinerator, maka pembangkit ini dilengkapi dengan beberapa fasilitas yang terdiri dari tiga alat utama, antara lain unit pengolahan gas buang dan unit pengolahan limbah cair. Unit pengolahan gas buang berfungi untuk mengurangi gas asam dan partikulat yang ada di gas buang. Unit ini terdiri dari pemisah debu dengan sistem siklon, scrubber semi-kering dan fabric filter baghouse. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa keluaran gas memenuhi regulasi yang ditetapkan pemerintah setempat.

Yang menarik dari pembangkit ini adalah dijadikannya pembangkit listrik ini sebagai tempat wisata edukasi bagi siswa-siswi tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan dalam dua tahun, pengunjungnya telah mencapai 19 ribu orang, sehingga masyarakat diperkenalkan metode pengolahan sampah ini sejak usia dini.

Tempat ini juga dijadikan area untuk syuting video klip, iklan dan sinetron. Harapannya suatu saat Indonesia akan mempunyai sistem pembangkit seperti ini yang berfungsi ganda, tidak hanya untuk penanganan sampah, tetapi juga untuk menghasilkan listrik, sekaligus sebagai wahana pendidikan bagi para siswa.
Pemerintah daerah sebagai ujung tombak pengelolaan sampah sudah saatnya untuk memikirkan, merencanakan dan kemudian mengimplementasikan teknologi semacam ini. (24)

M Syamsiro, Pengajar di Jurusan Teknik Mesin Universitas Janabadra Yogyakarta

Sumber: Suara Merdeka, 28 November 2011
»»  READMORE...

Pendidikan Karakter

Opini - Rabu, 29 Feb 2012 00:40 WIB
( Upaya Menemukan Jati Diri Pendidikan )

Oleh : M. Syukri Albani Nst, SH.I, MA.
Apa yang salah dengan pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan anak bangsa, terasa semakin hilang karakteristik pendidikan di diri anak bangsa. Prilaku anarkis, amoral, tidak menghormati orang tua dan guru menjadi cerminan dasar tingginya kualitas pendidikan tidak bersinggungan dengan tingginya karakter anak bangsa yang secara pancasilais harus beradab dan berbudaya.
Kepintaran tanpa keberadaban akan melahirkan kehampaan nilai di tengah-tengah masyarakat. Keberadaban tanpa kecerdasan pun akan menghilangkan transaksi sosial yang kontributif di tengah-tengah masyarakat. Itulah mengapa kombinasi kepintaran, kecerdasan dan keberadaban menjadi sangat penting dimiliki setiap anak bangsa.

Sekolah seharusnya menjadi sarana pembelajaran karakter. Tujuan dari pembelajaran bukan hanya meningkatkan kualitas kepintaran dan kecerdasan, tujuan pembelajaran harus mengikat realitas kehidupan. Termasuk kepatuhan, keseganan, budaya menghormati, menghargai, profesionalisme dan menyayangi. Dan ini yang serasa hampa di tengah-tengah dunia pendidikan kita.

Profesionalisme pendidikan mengajarkan kita untuk transparan kepada siswa-mahasiswa tentang proses penilaian, system pembelajaran aktif, sehingga siswa-mahasiswa lupa bahwa menghormati dan menghargai guru juga menjadi bagian dari profesionalisme. Privasi penilaian guru juga bagian dari hak preogratif guru. Sehingga penghargaan dan keberadaban terhadap guru dan sekelilingnya menjadi salah satu yang penting dalam menunjang kualitas pendidikan di Indonesia.

Indonesia dengan berbudaya. Kalimat ini bukan sekedar berlaku pada realitas sosial belaka, slogan tersebut harus mengena pada semua bagian, termasuk ranah pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter adalah penguatan aspek afektif dan psikomotorik siswa. Dan perolehannya melalui rasa dan kesadaran yang utuh dan kombinatif dengan kemampuan nalar dan kecerdasan siswa, sehingga siswa yang cerdas dan pintar akan sendirinya membentuk karakter hebat dan sarat dengan kebudayaan yang baik di tengah-tengah komunitasnya.

Jujun S.Suriasumantri dalam Filsafat Ilmu-nya menegaskan bahwa kebenaran dalam pengetahuan bukan semata-mata diperoleh melalui penalaran, termasuk didalamnya rasa, indrawi dan kewahyuan. Dan kesempurnaan proses pencarian keilmuan akan didapat melalui kombinasi semuanya.

Pembelajaran Aktif

Jika kita mengamati system pembelajaran modern, maka aktivitas kelas bukan lagi sekedar hubungan satu arah, guru bukan sekedar sumber belajar, tapi sudah menjadi media belajar. Kelas menggerakkan aspek afektif dan motorik siswa untuk secara aktif menjadikan dirinya pintar dengan kreativitas dan proses nalarnya. Itulah yang disebut Learning Society (Masyarakat Pembelajar) dengan prinsip everybody is a student, everybody is a teacher. Tidak ada guru yang abadi, dan tidak ada murid yang abadi. Mengalihkan proses belajar mengajar menjadi proses pembelajaran dan masyarakat pembelajar.

Oleh karenanya kelas hanya akan menjadi salah satu media kecil bagi siswa untuk menemukan jati diri pendidikan. Sebab suasana dan realitas menjadi media yang lebih besar lagi untuk melahirkan pendidikan. Guru bukan lagi menjadi transfer of knowledge, namun menjadi fasilitator. Sehingga siswa diharapkan mapan dalam berfikir dan bertindak dan bisa melahirkan kedewasaan karakter tersendiri.

Berikut penulis menyarankan cara dan metode pengembangan pendidikan di Indonesia berdasarkan pengamatan dan analisa yang berkembang :

1. Profesionalisme metode pembelajaran aktif, ini akan didapat melalui pemahaman yang utuh terhadap penempatan pedagogi (pendidikan anak) dan andragogi (pendidikan dewasa). Hal ini akan sangat berkaitan dengan perkembangan psikologi belajar. Contoh, seorang anak Play group sudah dibebani dengan hafalan yang sangat banyak, analisa perkalian pertambahan yang sangat beragam. Padahal suasana belajarnya masih are bermain. Bermain sambil berhitung, bukan berhitung sambil bermain. Suasana pedagogi menjadi tidak sesuai penerapannya. Sehingga pada saatnya anak diharuskan berfikir dan menghafal (andragogi), maka kejenuhan sudah menjadi bagian dari kehidupannya.

Sebab itu, suasana pembelajaran menjadi terbalik. Anak yang seharusnya bermain, menjadi menghafal dan berfikir. Dan ketika diharuskan berfikir dan menganalisa, menjadi bermain.

2. Profesionalisme guru dan dosen. Hal ini akan sangat berkaitan dengan progresifitas guru dan dosen dalam membentuk karakter pembelajarannya. Apakah melalui media, sumber bacaan, taktik metodik dan manajemen strategik pembelajaran. Pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif dan efektif. Bukan hanya sekedar mendapatkan ilmu pengetahuan, namun menyentuh pada aspek motorik, prilaku dan mora dan menyentuh aspek aksiologis yang bermanfaat bagi peradaban bangsa.

Guru dan dosen yang baik bukan sekedar covation (pekerja amatir). Yang mengajar karena bekerja, mengajar karena sambilan dan hoby. Tapi mengajar dijadikan sebagai proses pembelajaran yang professional melalui tanggung jawab personal untuk menambah wawasan pengetahuan, dan tanggung jawab kolektif melalui strategi pembelajaran yang kreatif. Guru dan dosen seharusnya bukan hanya mengisi aspek kognitif siswa-mahasiswa, namun mampu memberi pembenahan sampai pada "suasana moral’ siswa sehingga siswa mampu membedakan yang baik dan buruk bukan hanya melalui nalar berfikirnya, tapi sampai prilakunya.

3. Menghilangkan sugesti buruk terhadap peserta pembelajar. Jika seorang guru sudah berfikir bahwa semua anak itu bodoh, bandel dan sulit di atur, maka itu secara langsung dan tak langsung mempengaruhi cara berfikir. Guru bijaksana akan selalu menempatkan peserta didiknya pada ruang yang baik dan positif dan melalui suasana itu pula akan terbentuk energi positif guru-dosen untuk menggerakkan siswanya pada ruang aktif dan kreatif.

Guru adalah tauladan, makanya ada yang mengatakan one action lauder than one hundred words, satu perbuatan lebih hebat dari seribu kata-kata. Inilah sebabnya mengapa ada istilah "guru kencing beridiri, murid kencing berlari" itulah mengapa keteladanan karakter guru menjadi sangat berpengaruh pada karakter siswa.

Inilah bagian yang terpenting yang bisa kita evaluasi terkait dengan pembenahan system pendidikan kita. Indonesia Negara yang berbudaya, dan ini menjadi kata kunci terpenting untuk melahirkan siswa yang pintar, cerdas dan berbudaya. Itu pulalah mengapa "kekeringan" suasana karakteristik pendidikan yang berbudaya dan beragama menjadi isu aktual di tengah-tengah profesionalisme system pendidikan di Indonesia.

Semoga kita para pendidik lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi masalah yang sangat fundamental ini. Semoga bangsa ini lebih baik lagi kedepannya.***

Penulis adalah Dosen Filsafat Ilmu dan Fil. Hukum Islam di Fak, Syariah IAIN SU).
»»  READMORE...

Usaha Periferal dan Potensi Wirausaha Muda

Opini - Hari Kamis, 01 maret 2011 Pkl. 00:02 WIB
Usaha Periferal dan Potensi Wirausaha Muda
Oleh : Launa, SIP, MM
Sudah sejak waktu yang lama, geliat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berjalan sendiri-sendiri tanpa perhatian pemerintah. Padahal, kelompok ekonomi periferal hidup dari hasil usaha sendiri. Mereka adalah kelompok-kelompok yang kreatif, yang selama ini selalu mendapat pujian sebagai "juru selamat" ekonomi Indonesia di masa krisis.
Pada titik lain, upaya mengatasi pengangguran dan mengantisipasi pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia, kini gencar dilakukan pemerintah, dengan-sekali lagi-komitmen memberdayakan UMKM. Pertanyaannya, seriuskan pemerintah menyiapkan cetak biru wirausahawan muda mandiri yang potensial itu?

Sebab, ditilik dari sisi makro, indikator ekonomi Indonesia yang kinclong berdampak pada peningkatan daya beli masyarakatnya. Kenaikan pendapatan per kapita yang saat ini mencapai US$ 3.700 (atau sekitar Rp 3 juta per bulannya) dan laju inflasi yang rendah (3,8 persen), jelas menjadi faktor pendorong peningkatan daya beli masyarakat.

Fakta lain adalah pertumbuhan ekonomi yang mantap (6,5 persen), PDB tahun 2012 yang diprediksi mencapi Rp 8.100 triliun (sementara tahun 2013, diperkirakan mencapai Rp 9.000 trilyun), cadangan devisa yang telah menembus angka US$ 100 miliar, dan kenaikan peringkat investment grade dari Fitch Rating dan Moddy"s, yang telah menempatkan Indonesia sebagai negara layak investasi.

Berikutnya adalah pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang signifikan dalam satu dekade terakhir. Laporan Asian Development Bank (ADB) bertajuk "The Rise of Asia"s Middle Class" (2010) menunjukkan, kelas menengah Indonesia melonjak tajam, dari sekitar 93 juta jiwa (43,7 persen) di tahun 2009 menjadi 134 juta jiwa (56,5 persen) pada tahun 2010. Saat ini, ekonomi Indonesia adalah yang terbesar ke-14 di dunia.

Pertanyaannya, kenapa data makroekonomi yang luar biasa ini tak berelasi dengan tumbuhnya wirausahawan, terutama pebisnis muda untuk mengisi ruang pertumbuhan itu - Padahal, kemajuan ekonomi sebuah bangsa paling tidak harus ditopang oleh 4 persen warganya yang berprofesi sebagai wirausahawan.

Data statistik menunjukkan, dari 231,83 juta penduduk, hanya terdapat 564.240 unit usaha berskala kecil menengah dan besar (atau 0,24 persen) dari total penduduk. Asosiasi Wirausaha Indonesia (2011) menyebut, Indonesia hanya memiliki wirausahawan di bawah satu persen (sekitar 0,24 persen). Artinya, jumlah wirausahawan Indonesia kurang dari 1 juta orang, dari total populasi penduduknya yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa.

Bandingkan dengan Singapura yang memiliki entrepreneur sebesar 7,2 persen dari total populasi penduduknya, Thailand 4,1 persen, Malaysia 2,1 persen, Korea Selatan 4,0 persen, China 10 persen, dan Amerika Serikat 11,5 persen. Artinya, jika kita ingin mencontoh Malaysia yang memiliki 2 persen wirausahawan dari populasi penduduknya, maka Indonesia harus segera mencetak 4,8 juta entrepreneur.

Gagasan untuk mencetak enterpreneur baru telah dicanangkan Presiden Yudhoyono melalui Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) sejak 2 Februari 2011 lalu. Gagasan ini, konon akan melibatkan puluhan kementerian dan lusinan BUMN. Namun, pemerintah sepertinya kurang optimis. Seperti disampaikan Menteri Koperasi dan UKM, Indonesia masih butuh waktu lama, setidaknya hingga 2030, untuk mencetak wirausaha sebanyak 4,8 juta orang (http://www. umkm-online.com).

Sejak era kemerdekaan, pebisnis handal yang tampil di Indonesia masih bersifat genetik, didominasi oleh mereka yang berasal dari keturunan pengusaha. Sisanya adalah pengusaha yang sukses secara kasuistik, seperti karyawan yang keluar dari perusahaan dan mencoba berbisnis, atau anak muda yang belajar bisnis dari sekolah bisnis, atau anak muda pemberani yang berani merintis bisnis dari nol.

Mengubah orientasi masyarakat Indonesia yang umumnya bermental ambtenar-gemar mengejar status sebagai pekerja kantoran-memang tidak mudah. Padahal, di tengah angka penganggur yang tinggi, Indonesia butuh orang-orang yang berani membuat terobosan cerdas, pantang menyerah, dan mampu mengubah tantangan menjadi peluang.

Mengail Inspirasi

Di bidang pendidikan, kita bisa belajar dari Harvard University yang banyak melahirkan pebisnis kelas dunia. Sebut saja Bill Gates, kendati tak pernah merampungkan studinya, salah satu orang terkaya di dunia ini mampu membangun kerajaan bisnis Microsoft.

Berikutnya Mark Zuckerberg, raja situs jejaring sosial Facebook. Seperti Bill Gates, Mark Zuckerberg adalah mahasiswa gagal lulus dari Harvard, namun mampu menjadi pebisnis online kelas dunia, dengan omzet miliaran dollar AS.

Tak heran bila Harvard menjadi idola mahasiswa di seluruh dunia. Manajemen pendidikan "winning strategies" yang diramu dalam kurikulum "business school" menjadi kurikulum bisnis paling efektif di Harvard. Sekolah sambil menjalani praktik bisnis ala Harvard ini banyak diadopsi dan menjadi inspirasi perguruan tinggi bisnis di seluruh dunia.

Atau kisah seorang Steve Jobs, pendiri Apple Inc, yang telah menginspirasi banyak orang di dunia. Jobs meninggalkan bangku kuliah karena ketiadaan dana. Ia memilih menjadi wirausaha guna mewujudkan ide-idenya di bisnis teknologi informasi. Hasilnya luar biasa, Jobs mampu menciptakan produk-produk spektakuler. Sebelum ajal menjemput, Jobs menciptakan iPad2, produk terakhirnya yang kini menjadi tren gadget dunia.

Keringnya wirausahawan di negeri ini telah dimanfaatkan sejumlah perguruan tinggi (PT) untuk menggelar jurusan bisnis, dengan metode pengajaran aplikatif, menyiapkan laboratorium (inkubator) bisnis untuk praktik mahasiswa, dan mengundang para profesional/praktisi bisnis sebagai pengajar. Beberapa PT ternama bahkan telah mengubah nomenklatur Fakultas Ekonomi (FE) menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).

Banyak PT lokal yang mengadopsi dan mengadaptasi kurikulum bisnis modern sebagai mata kuliah wajib mahasiswanya. Bahkan, ada PT Indonesia yang memiliki moto entrepreneurial university, dan tak sedikit PT yang didirikan oleh swasta (pengusaha) dengan paradigma entrepreneurship paling modern.

PPM School of Management, Prasetiya Mulya Business School (PMBS), Ciputra Entrepreneurship School (CES), President University, atau Universitas Bakrie misalnya, adalah beberapa PT yang mengembangkan sekolah bisnis (manajemen) yang berorientasi mencetak para manajer atau pebisnis muda yang tangguh dan handal.

Di sektor swasta, melalui program go to campus, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) berkomitmen untuk mencetak 1.000 wirausahawan baru. Tak hanya memberikan pelatihan, konsultasi, dan pendampingan, Hipmi juga bertekad menjadi katalisator bagi mahasiswa yang ingin terjun ke dunia bisnis.

Tak hanya Hipmi, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga menargetkan 4 juta pengusaha baru dalam lima tahun ke depan. Sedangkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menargetkan dapat mencetak 400 pengusaha baru di tahun 2012 ini.

Di sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN), melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), Kementerian BUMN telah mengintruksikan seluruh BUMN untuk mencetak sedikitnya 50 ribu wirausahawan baru tiap tahunnya. Bank Mandiri, misalnya, sejak 2009 lalu telah mengembangkan program "Wirausaha Muda Bank Mandiri" bagi kalangan kampus yang telah menghasilkan 3.751 wirausa muda dari 385 PT di Indonesia.

Di sektor masyarakat, Profesor Rhenald Kasali, dalam bukunya, Wirausaha Mandiri (2010), mengupas kisah inspiratif 24 anak muda Indonesia tangguh yang sukses menjadi wirausahawan. Mereka adalah anak muda yang mampu mengalahkan rasa takut, sanggup bersahabat dengan ketidakpastian, dan akrab dengan tantangan.

Mindset mereka berbeda dengan generasi sebelumnya, yang umumnya lebih memilih profesi sebagai pekerja formal. Padahal, menjadi wirausahawan saat ini adalah profesi terhormat dalam masyarakat, mendapat dukungan pemerintah, dunia usaha, dan perbankan.

Kunci analisis Profesor Kasali adalah merubah maindset dan kultur. Dalam bukunya itu, pakar manajemen UI ini mengatakan, "jangan percaya pada mitos hanya orang Padang atau orang China yang pandai berbisnis. Semua orang bisa berbisnis dan memiliki entrepreneurship DNA".

Di tengah pesta korupsi yang memuakkan, negeri ini ternyata memiliki banyak anak muda yang kreatif. Mereka adalah wirausahawan muda yang inovatif, mandiri, dan menghidupi orang lain dengan berbagai usaha. Sebab, fondasi utama sebuah bangsa adalah aktivitas bisnis warga negara yang muncul dari semua jenis usaha: mikro, kecil, menengah, maupun besar. Itulah visi besar yang bisa menjadi inspirasi untuk membuat Indonesia maju.

Pemerintah harus segera menyusun cetak biru wirausahawan muda dengan visi strategis dan program lintas sektoral yang melibatkan seluruh stakeholder (dunia pendidikan, sektor swasta, BUMN, perbankan, dan para profesional). Tujuannya, merakit sistem baru dan kultur baru yang mampu menanamkan mindset wirausaha dan DNA entrepreneurship yang kuat di setiap dada anak muda Indonesia - ***

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia
»»  READMORE...
Template by : anchar revolusiparadigmaterkini.blogspot.com