Pendidikan Karakter

Opini - Rabu, 29 Feb 2012 00:40 WIB
( Upaya Menemukan Jati Diri Pendidikan )

Oleh : M. Syukri Albani Nst, SH.I, MA.
Apa yang salah dengan pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan anak bangsa, terasa semakin hilang karakteristik pendidikan di diri anak bangsa. Prilaku anarkis, amoral, tidak menghormati orang tua dan guru menjadi cerminan dasar tingginya kualitas pendidikan tidak bersinggungan dengan tingginya karakter anak bangsa yang secara pancasilais harus beradab dan berbudaya.
Kepintaran tanpa keberadaban akan melahirkan kehampaan nilai di tengah-tengah masyarakat. Keberadaban tanpa kecerdasan pun akan menghilangkan transaksi sosial yang kontributif di tengah-tengah masyarakat. Itulah mengapa kombinasi kepintaran, kecerdasan dan keberadaban menjadi sangat penting dimiliki setiap anak bangsa.

Sekolah seharusnya menjadi sarana pembelajaran karakter. Tujuan dari pembelajaran bukan hanya meningkatkan kualitas kepintaran dan kecerdasan, tujuan pembelajaran harus mengikat realitas kehidupan. Termasuk kepatuhan, keseganan, budaya menghormati, menghargai, profesionalisme dan menyayangi. Dan ini yang serasa hampa di tengah-tengah dunia pendidikan kita.

Profesionalisme pendidikan mengajarkan kita untuk transparan kepada siswa-mahasiswa tentang proses penilaian, system pembelajaran aktif, sehingga siswa-mahasiswa lupa bahwa menghormati dan menghargai guru juga menjadi bagian dari profesionalisme. Privasi penilaian guru juga bagian dari hak preogratif guru. Sehingga penghargaan dan keberadaban terhadap guru dan sekelilingnya menjadi salah satu yang penting dalam menunjang kualitas pendidikan di Indonesia.

Indonesia dengan berbudaya. Kalimat ini bukan sekedar berlaku pada realitas sosial belaka, slogan tersebut harus mengena pada semua bagian, termasuk ranah pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter adalah penguatan aspek afektif dan psikomotorik siswa. Dan perolehannya melalui rasa dan kesadaran yang utuh dan kombinatif dengan kemampuan nalar dan kecerdasan siswa, sehingga siswa yang cerdas dan pintar akan sendirinya membentuk karakter hebat dan sarat dengan kebudayaan yang baik di tengah-tengah komunitasnya.

Jujun S.Suriasumantri dalam Filsafat Ilmu-nya menegaskan bahwa kebenaran dalam pengetahuan bukan semata-mata diperoleh melalui penalaran, termasuk didalamnya rasa, indrawi dan kewahyuan. Dan kesempurnaan proses pencarian keilmuan akan didapat melalui kombinasi semuanya.

Pembelajaran Aktif

Jika kita mengamati system pembelajaran modern, maka aktivitas kelas bukan lagi sekedar hubungan satu arah, guru bukan sekedar sumber belajar, tapi sudah menjadi media belajar. Kelas menggerakkan aspek afektif dan motorik siswa untuk secara aktif menjadikan dirinya pintar dengan kreativitas dan proses nalarnya. Itulah yang disebut Learning Society (Masyarakat Pembelajar) dengan prinsip everybody is a student, everybody is a teacher. Tidak ada guru yang abadi, dan tidak ada murid yang abadi. Mengalihkan proses belajar mengajar menjadi proses pembelajaran dan masyarakat pembelajar.

Oleh karenanya kelas hanya akan menjadi salah satu media kecil bagi siswa untuk menemukan jati diri pendidikan. Sebab suasana dan realitas menjadi media yang lebih besar lagi untuk melahirkan pendidikan. Guru bukan lagi menjadi transfer of knowledge, namun menjadi fasilitator. Sehingga siswa diharapkan mapan dalam berfikir dan bertindak dan bisa melahirkan kedewasaan karakter tersendiri.

Berikut penulis menyarankan cara dan metode pengembangan pendidikan di Indonesia berdasarkan pengamatan dan analisa yang berkembang :

1. Profesionalisme metode pembelajaran aktif, ini akan didapat melalui pemahaman yang utuh terhadap penempatan pedagogi (pendidikan anak) dan andragogi (pendidikan dewasa). Hal ini akan sangat berkaitan dengan perkembangan psikologi belajar. Contoh, seorang anak Play group sudah dibebani dengan hafalan yang sangat banyak, analisa perkalian pertambahan yang sangat beragam. Padahal suasana belajarnya masih are bermain. Bermain sambil berhitung, bukan berhitung sambil bermain. Suasana pedagogi menjadi tidak sesuai penerapannya. Sehingga pada saatnya anak diharuskan berfikir dan menghafal (andragogi), maka kejenuhan sudah menjadi bagian dari kehidupannya.

Sebab itu, suasana pembelajaran menjadi terbalik. Anak yang seharusnya bermain, menjadi menghafal dan berfikir. Dan ketika diharuskan berfikir dan menganalisa, menjadi bermain.

2. Profesionalisme guru dan dosen. Hal ini akan sangat berkaitan dengan progresifitas guru dan dosen dalam membentuk karakter pembelajarannya. Apakah melalui media, sumber bacaan, taktik metodik dan manajemen strategik pembelajaran. Pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif dan efektif. Bukan hanya sekedar mendapatkan ilmu pengetahuan, namun menyentuh pada aspek motorik, prilaku dan mora dan menyentuh aspek aksiologis yang bermanfaat bagi peradaban bangsa.

Guru dan dosen yang baik bukan sekedar covation (pekerja amatir). Yang mengajar karena bekerja, mengajar karena sambilan dan hoby. Tapi mengajar dijadikan sebagai proses pembelajaran yang professional melalui tanggung jawab personal untuk menambah wawasan pengetahuan, dan tanggung jawab kolektif melalui strategi pembelajaran yang kreatif. Guru dan dosen seharusnya bukan hanya mengisi aspek kognitif siswa-mahasiswa, namun mampu memberi pembenahan sampai pada "suasana moral’ siswa sehingga siswa mampu membedakan yang baik dan buruk bukan hanya melalui nalar berfikirnya, tapi sampai prilakunya.

3. Menghilangkan sugesti buruk terhadap peserta pembelajar. Jika seorang guru sudah berfikir bahwa semua anak itu bodoh, bandel dan sulit di atur, maka itu secara langsung dan tak langsung mempengaruhi cara berfikir. Guru bijaksana akan selalu menempatkan peserta didiknya pada ruang yang baik dan positif dan melalui suasana itu pula akan terbentuk energi positif guru-dosen untuk menggerakkan siswanya pada ruang aktif dan kreatif.

Guru adalah tauladan, makanya ada yang mengatakan one action lauder than one hundred words, satu perbuatan lebih hebat dari seribu kata-kata. Inilah sebabnya mengapa ada istilah "guru kencing beridiri, murid kencing berlari" itulah mengapa keteladanan karakter guru menjadi sangat berpengaruh pada karakter siswa.

Inilah bagian yang terpenting yang bisa kita evaluasi terkait dengan pembenahan system pendidikan kita. Indonesia Negara yang berbudaya, dan ini menjadi kata kunci terpenting untuk melahirkan siswa yang pintar, cerdas dan berbudaya. Itu pulalah mengapa "kekeringan" suasana karakteristik pendidikan yang berbudaya dan beragama menjadi isu aktual di tengah-tengah profesionalisme system pendidikan di Indonesia.

Semoga kita para pendidik lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi masalah yang sangat fundamental ini. Semoga bangsa ini lebih baik lagi kedepannya.***

Penulis adalah Dosen Filsafat Ilmu dan Fil. Hukum Islam di Fak, Syariah IAIN SU).

0 komentar:

Template by : anchar revolusiparadigmaterkini.blogspot.com