Usaha Periferal dan Potensi Wirausaha Muda

Opini - Hari Kamis, 01 maret 2011 Pkl. 00:02 WIB
Usaha Periferal dan Potensi Wirausaha Muda
Oleh : Launa, SIP, MM
Sudah sejak waktu yang lama, geliat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berjalan sendiri-sendiri tanpa perhatian pemerintah. Padahal, kelompok ekonomi periferal hidup dari hasil usaha sendiri. Mereka adalah kelompok-kelompok yang kreatif, yang selama ini selalu mendapat pujian sebagai "juru selamat" ekonomi Indonesia di masa krisis.
Pada titik lain, upaya mengatasi pengangguran dan mengantisipasi pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia, kini gencar dilakukan pemerintah, dengan-sekali lagi-komitmen memberdayakan UMKM. Pertanyaannya, seriuskan pemerintah menyiapkan cetak biru wirausahawan muda mandiri yang potensial itu?

Sebab, ditilik dari sisi makro, indikator ekonomi Indonesia yang kinclong berdampak pada peningkatan daya beli masyarakatnya. Kenaikan pendapatan per kapita yang saat ini mencapai US$ 3.700 (atau sekitar Rp 3 juta per bulannya) dan laju inflasi yang rendah (3,8 persen), jelas menjadi faktor pendorong peningkatan daya beli masyarakat.

Fakta lain adalah pertumbuhan ekonomi yang mantap (6,5 persen), PDB tahun 2012 yang diprediksi mencapi Rp 8.100 triliun (sementara tahun 2013, diperkirakan mencapai Rp 9.000 trilyun), cadangan devisa yang telah menembus angka US$ 100 miliar, dan kenaikan peringkat investment grade dari Fitch Rating dan Moddy"s, yang telah menempatkan Indonesia sebagai negara layak investasi.

Berikutnya adalah pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang signifikan dalam satu dekade terakhir. Laporan Asian Development Bank (ADB) bertajuk "The Rise of Asia"s Middle Class" (2010) menunjukkan, kelas menengah Indonesia melonjak tajam, dari sekitar 93 juta jiwa (43,7 persen) di tahun 2009 menjadi 134 juta jiwa (56,5 persen) pada tahun 2010. Saat ini, ekonomi Indonesia adalah yang terbesar ke-14 di dunia.

Pertanyaannya, kenapa data makroekonomi yang luar biasa ini tak berelasi dengan tumbuhnya wirausahawan, terutama pebisnis muda untuk mengisi ruang pertumbuhan itu - Padahal, kemajuan ekonomi sebuah bangsa paling tidak harus ditopang oleh 4 persen warganya yang berprofesi sebagai wirausahawan.

Data statistik menunjukkan, dari 231,83 juta penduduk, hanya terdapat 564.240 unit usaha berskala kecil menengah dan besar (atau 0,24 persen) dari total penduduk. Asosiasi Wirausaha Indonesia (2011) menyebut, Indonesia hanya memiliki wirausahawan di bawah satu persen (sekitar 0,24 persen). Artinya, jumlah wirausahawan Indonesia kurang dari 1 juta orang, dari total populasi penduduknya yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa.

Bandingkan dengan Singapura yang memiliki entrepreneur sebesar 7,2 persen dari total populasi penduduknya, Thailand 4,1 persen, Malaysia 2,1 persen, Korea Selatan 4,0 persen, China 10 persen, dan Amerika Serikat 11,5 persen. Artinya, jika kita ingin mencontoh Malaysia yang memiliki 2 persen wirausahawan dari populasi penduduknya, maka Indonesia harus segera mencetak 4,8 juta entrepreneur.

Gagasan untuk mencetak enterpreneur baru telah dicanangkan Presiden Yudhoyono melalui Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) sejak 2 Februari 2011 lalu. Gagasan ini, konon akan melibatkan puluhan kementerian dan lusinan BUMN. Namun, pemerintah sepertinya kurang optimis. Seperti disampaikan Menteri Koperasi dan UKM, Indonesia masih butuh waktu lama, setidaknya hingga 2030, untuk mencetak wirausaha sebanyak 4,8 juta orang (http://www. umkm-online.com).

Sejak era kemerdekaan, pebisnis handal yang tampil di Indonesia masih bersifat genetik, didominasi oleh mereka yang berasal dari keturunan pengusaha. Sisanya adalah pengusaha yang sukses secara kasuistik, seperti karyawan yang keluar dari perusahaan dan mencoba berbisnis, atau anak muda yang belajar bisnis dari sekolah bisnis, atau anak muda pemberani yang berani merintis bisnis dari nol.

Mengubah orientasi masyarakat Indonesia yang umumnya bermental ambtenar-gemar mengejar status sebagai pekerja kantoran-memang tidak mudah. Padahal, di tengah angka penganggur yang tinggi, Indonesia butuh orang-orang yang berani membuat terobosan cerdas, pantang menyerah, dan mampu mengubah tantangan menjadi peluang.

Mengail Inspirasi

Di bidang pendidikan, kita bisa belajar dari Harvard University yang banyak melahirkan pebisnis kelas dunia. Sebut saja Bill Gates, kendati tak pernah merampungkan studinya, salah satu orang terkaya di dunia ini mampu membangun kerajaan bisnis Microsoft.

Berikutnya Mark Zuckerberg, raja situs jejaring sosial Facebook. Seperti Bill Gates, Mark Zuckerberg adalah mahasiswa gagal lulus dari Harvard, namun mampu menjadi pebisnis online kelas dunia, dengan omzet miliaran dollar AS.

Tak heran bila Harvard menjadi idola mahasiswa di seluruh dunia. Manajemen pendidikan "winning strategies" yang diramu dalam kurikulum "business school" menjadi kurikulum bisnis paling efektif di Harvard. Sekolah sambil menjalani praktik bisnis ala Harvard ini banyak diadopsi dan menjadi inspirasi perguruan tinggi bisnis di seluruh dunia.

Atau kisah seorang Steve Jobs, pendiri Apple Inc, yang telah menginspirasi banyak orang di dunia. Jobs meninggalkan bangku kuliah karena ketiadaan dana. Ia memilih menjadi wirausaha guna mewujudkan ide-idenya di bisnis teknologi informasi. Hasilnya luar biasa, Jobs mampu menciptakan produk-produk spektakuler. Sebelum ajal menjemput, Jobs menciptakan iPad2, produk terakhirnya yang kini menjadi tren gadget dunia.

Keringnya wirausahawan di negeri ini telah dimanfaatkan sejumlah perguruan tinggi (PT) untuk menggelar jurusan bisnis, dengan metode pengajaran aplikatif, menyiapkan laboratorium (inkubator) bisnis untuk praktik mahasiswa, dan mengundang para profesional/praktisi bisnis sebagai pengajar. Beberapa PT ternama bahkan telah mengubah nomenklatur Fakultas Ekonomi (FE) menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).

Banyak PT lokal yang mengadopsi dan mengadaptasi kurikulum bisnis modern sebagai mata kuliah wajib mahasiswanya. Bahkan, ada PT Indonesia yang memiliki moto entrepreneurial university, dan tak sedikit PT yang didirikan oleh swasta (pengusaha) dengan paradigma entrepreneurship paling modern.

PPM School of Management, Prasetiya Mulya Business School (PMBS), Ciputra Entrepreneurship School (CES), President University, atau Universitas Bakrie misalnya, adalah beberapa PT yang mengembangkan sekolah bisnis (manajemen) yang berorientasi mencetak para manajer atau pebisnis muda yang tangguh dan handal.

Di sektor swasta, melalui program go to campus, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) berkomitmen untuk mencetak 1.000 wirausahawan baru. Tak hanya memberikan pelatihan, konsultasi, dan pendampingan, Hipmi juga bertekad menjadi katalisator bagi mahasiswa yang ingin terjun ke dunia bisnis.

Tak hanya Hipmi, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga menargetkan 4 juta pengusaha baru dalam lima tahun ke depan. Sedangkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menargetkan dapat mencetak 400 pengusaha baru di tahun 2012 ini.

Di sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN), melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), Kementerian BUMN telah mengintruksikan seluruh BUMN untuk mencetak sedikitnya 50 ribu wirausahawan baru tiap tahunnya. Bank Mandiri, misalnya, sejak 2009 lalu telah mengembangkan program "Wirausaha Muda Bank Mandiri" bagi kalangan kampus yang telah menghasilkan 3.751 wirausa muda dari 385 PT di Indonesia.

Di sektor masyarakat, Profesor Rhenald Kasali, dalam bukunya, Wirausaha Mandiri (2010), mengupas kisah inspiratif 24 anak muda Indonesia tangguh yang sukses menjadi wirausahawan. Mereka adalah anak muda yang mampu mengalahkan rasa takut, sanggup bersahabat dengan ketidakpastian, dan akrab dengan tantangan.

Mindset mereka berbeda dengan generasi sebelumnya, yang umumnya lebih memilih profesi sebagai pekerja formal. Padahal, menjadi wirausahawan saat ini adalah profesi terhormat dalam masyarakat, mendapat dukungan pemerintah, dunia usaha, dan perbankan.

Kunci analisis Profesor Kasali adalah merubah maindset dan kultur. Dalam bukunya itu, pakar manajemen UI ini mengatakan, "jangan percaya pada mitos hanya orang Padang atau orang China yang pandai berbisnis. Semua orang bisa berbisnis dan memiliki entrepreneurship DNA".

Di tengah pesta korupsi yang memuakkan, negeri ini ternyata memiliki banyak anak muda yang kreatif. Mereka adalah wirausahawan muda yang inovatif, mandiri, dan menghidupi orang lain dengan berbagai usaha. Sebab, fondasi utama sebuah bangsa adalah aktivitas bisnis warga negara yang muncul dari semua jenis usaha: mikro, kecil, menengah, maupun besar. Itulah visi besar yang bisa menjadi inspirasi untuk membuat Indonesia maju.

Pemerintah harus segera menyusun cetak biru wirausahawan muda dengan visi strategis dan program lintas sektoral yang melibatkan seluruh stakeholder (dunia pendidikan, sektor swasta, BUMN, perbankan, dan para profesional). Tujuannya, merakit sistem baru dan kultur baru yang mampu menanamkan mindset wirausaha dan DNA entrepreneurship yang kuat di setiap dada anak muda Indonesia - ***

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia

0 komentar:

Template by : anchar revolusiparadigmaterkini.blogspot.com